Jumat, 16 Maret 2012

cerpen (sesuatu yang hilang)

SESUATU YANG HILANG

            Libur sekolah telah tiba aku memutuskan untuk berlibur di tempat keluarga, aku ingin menikmati suasana pantai maka karena itu aku memilih berlibur kerumah paman, paman memiliki anak yang seusia aku udin namanya jadi lebih bisa interaktif disana, yah sungguh indah matahari yang kemerah-merahan itu, hari pertama aku lakukan untuk berkeliling pantai, sungguh menyegarkan anginnya semilir menyejukan, aku tidak hanya pergi jalan-jalan tapi aku juga membantu pekerjaan paman, hitung-hitung pengalaman baru, “rif ayo kita istirahat dulu di pondok, matahari sudah cukup panas” “iya din udah panas sekali” “enakya tinggal di sini din”, “apanya yang enak” “ya dapat liat pantai setiap hari” “bisa mandi-mand juga” “yah nanti lama-lama kamu akan bosan juga” jawab udin.
            Yah hari libur serasa sangat cepat, hari ini seperti biasa aku membantu udin menjemur ikan, seperti biasa juga kita istirahat di pondok, “Din lihat ngak nenek-nenek disana”, ku mencoba mengawali pembicaraan, “oh nenek-nenek itu, iya memang kenapa”, aku perhatikan dari kemrin setiap hari dia datang duduk dibawah pohon kelapa itu, apa sih yang dia lakukan”, “aku sendiri kurang tau, tapi kata orang-orang dia tu orang gila, ya aku juga kurang tau”, “ tapi dia tidak kelihatan gila” aku mencoba membela nenek itu, yah aku juga berfikir seperti itu” menurut cerita yang aku dengar dia kehilangan anak dan cucunya saat malaut, sebelum melaut anak dan cucunya dulu sempat di peringatkan agar jangan melaut, karena ombak lagi besar, tapi tetap saja ia pergi, sampai sekarang anak dan cucunya tidak pernah kembali, entah sudah mati, atau lupa pada kampung halaman, toh nyawanya tidak ditemukan, tapi para nelayan temukan puing-puing kapalnya, semenjak kejadian itu istri anak nenek itu lalu pergi tanpa memikirkan nasip mertuaya, nenek itu tidak mempunyi sanak keluarga lain, tetangganyalah yang masih menaruh rasa iba kepadanya, dan sampai sekarang dia masih mengharapkan suatu keajaiban anak dan cucunya bisa kembali,” aku menyimak cerita udin dengan keprihatinan, “ sedih juga ya???” “ yah begitulah.
            Keesokan harinnya seperti biasa nenek itu duduk dibawah pohon kelapa itu, aku semakin penasaran sama nenek itu aku mencoba mendekat, aku duduk disampingnya, aku belum berani mengawali pembicaraan, dia juga membisu seribukata, aku mengamati nenek itu dengan hati-hati, kulitnya sudah tampak keriput walau menurut aku dia belum terlalu tua sekali, matanya kelihatan mebengkak, mungkin karena selalu menangis, dan tatapannya  sangat kosong, bajunnya begitu lusuh, dan badannya seperti tidak terawat, hari ini aku hanya bisa mengamati nenek itu dari dekat tanpa berani bertanya satu pertanyaan pun. hari berikutnya aku mencoba mendekat lagi dan akupun melihat sama seperti kemarin,, nenek itu seskali melirik kepadaku, mungkin tanda heran, aku mencoba memancing pembicaraan, “ nenek apa yang yang nenek tunggu, aku liat nenek seperti nunggu sesuatu” nenek itu hanya menoleh sesaat tanpa memberi jawaban”, maaf nek, nenek tinggalnya dimana”, sama seperti sebelumnya tidak ada jawaban, aku semakin penasaran dengan nenek ini, keesokan harinya setelah membantu udin aku mencoba mendekati nenek itu lagi, aku berharap kali ini nenek memberi respon tapi sepertinya hal itu nihil, setiap  hari aku mencoba, sekedar ingin tau dan untuk mengisi hari ibur juga.
            Ini adalah hari ke empat aku mendatangi nenek itu, aku mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnnya, rupanya usahaku tidak sia-sia nenek itu mulai memperlihatkan respon, dia terseyum kepadaku, aku semakin bersemangat untuk tau lebih jauh, aku menanyakan banyak hal kepada nenek itu, tapi aku sangat hati-hati menpertanyakan sesuatu aku tak mu nenek itu tersinggung dan menjadi beban, karena ia sudah sangat tersiksa dengan keadaan ini, dengan kehilangan anak dan cucunya, “ nek boleh ngak ku datang kerumah nenek” “boleh, tapi jangan kaget dengan keadaan rumah nenek”, nenek menjawab dengn suaranya yang parau “ eh....... ngak nek,” “ emang rumah nenek dimana???”, “ dikampung sebelah, “ baiklah kapan-kapan aku kesana”,  aku burusaha mencairkan suasana dengan banyolan-banyolan ku alhasil, terlihat bibir nenek itu tersenyum walau masih samar-samar, keesokan harinya aku menemani nenek itu menunggu anak dan cucunya kembali, walau menurut aku hal itu tidak mungkin terjadi, “nek besok boleh aku kerumah nenek” nenek itu hanya menoleh, aku melihat bebirnya tersennyum walau tidak terlalu kentara, aku merasa nenek itu senang akan kedatangan ku kerumahnya, “nek aku kesana dulu ya, mau bantu udin kasian dia jemur ikan sendiri”, nenek itu mengangguk pelan.
            Aku mendatangi udin dan mulai membantunya “ gimana berhasil???, tanya udin “ berhasil lah, eh din mau ngak kamu antar aku” kemana??? Tanya udin “kerumah nenek itu” ngapain???, “ ya mau jalan-jalan aja, mau liat rumahnya dimana, antarin ya....ya....ya....’ “ ya udah besok aku temani”, “gitu dong. Aku memberitahu pada nenek itu bahwa aku akan datang paling jam-jam sembilan setelah jemur ikan.
            Keesokan harinya aku datang kesana bersama udin, asalamualaikum aku mencoba memberi salam, tak lama terdengar jawaban, walaikum salam, nenek itu memnjawab dengan suara paraunya, aku di persilahkan masuk, aku merasa heran nenek itu kemudian menangis lalu memeluk aku, ia seperti baru saja medapatkan sesuatu yang berharga, aku hanya bisa diam membiarkan nenek itu menumpahkan kesedihannya dipelukan ku, mungkan aku dianggap sebagai cucunya yng hilang dan telah kembali, tak lama  setelah itu nenek menyuruh aku duduk dan menyuruh aku dan udin untuk makan, “ wah masakannya enak nek” udin menyeletuk “ iya nek enak lho ayo nek makan bareng, nenek itu pun makan juga bersama kami, setelah makan kami duduk-duduk di ruang tamu, di situ kita bercanda, bercerita banyak hal, “ nek besok-besok tidak usah pergi kepantai lagi, kita akan sering-sering datang kesini untuk menjenguk nenek, aku memcoba memberi harapan kepada nenek, “ anggaplah lah kami ini cucu nenek” terlihat seyum nenek mengembang terlihat jelas,,,, mungkin aku telah memberi harapan kapada nenek itu. Seperti yang aku katakan aku pergi kerumah nenek itu, hampir setiap hari, berhubung hari liburku belum selesai, dia telah menggap aku sebagai cucunya sendiri, aku juga menggap nenek itu sebagai nenek sendiri, hubungan kami semakin dekat, mungkin karena aku sering datang.
            Ternyata hari liburku akhirnya berakhir aku dengan berat hati harus pulang, dan yang membuat aku sedih aku tidak sempat berpamitan sama nenek. Semua terlalu mendadak, aku hanya berpesan kepada udin untuk sering-sering menjenguk nenek itu, “ din jangan lupa jenguk nenek ya” “ iya, jangan kuatir” “ o.........ya sampaikan salamku buat nenek dan permintaan maafku tidak tidak bisa pamitan secara langsung” “ sip” sekarang aku pamit, “ paman tante, aku pamit pulang”, tante menjawab “ o ya hati-hati di jalan, klu ada hari libur, datang lagi kemari “ iya tante terimakasih” aku mulai menaiki mobil pulang.
            Hari-hari ku bengitu menyenangkan dengan pengalaman yang luar biasa,  satu bulan telah berlalu, aku mendapat kabar dari udin, dia mengatakan bahwa penyakit nenek itu kambuh lagi, nenek selalu berdiri di depan pagarnnya, menurut tetangganya ia menunggu kedatangan cucunya dan terus menangis, dan udin mengatakan dia yakin bahwa yang di tunggu adalah aku, aku terhenyak merasa sedih aku terlalu memberi pengharapan kepada nenek itu dan aku telah berjanji untuk mengunjunngi setiap hari, aku tak tau harus berbuat apa. Aku sungguh menyesal telah memberi pengharapan yang berlebihan pada nenek itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar